Renungan Mezbah Keluarga #17B20

Bacaan: Matius 13:3-23

b) Emosional
Tentulah emosi itu penting, sebab oleh karena emosi itulah kita bisa menikmati kehidupan dan bisa bersapa dengan anugerah TUHAN. Namun apabila spiritualitas iman kita kepada TUHAN dibangun oleh respon2 emosional semata, maka relasi itu tidak akan bertahan lama saat menghadapi penderitaan, penindasan dan penganiayaan. Hari ini berteriak “haleluya” besuk sudah “halelupa”.
Saudara, pengertian emosional memang tidak harus dikontraskan dengan rasional. Sebab emosi dan rasio sama sama diperlukan bagi pendalaman spiritual yang utuh kokoh. Jika emosi dan rasio ini bisa bergabung dengan baik, maka iman kita akan menjadi kuat dan tangguh (endurance).
Kita tahu bahwa Injil Matius ini (diperkirakan) ditulis sekitar tahun 60-65 M, yakni saat dimana para pengikut Kristus mendapatkan tekanan dan penindasan dibawah pemerintahan Kaisar Nero. Penderitaan mereka itu memuncak saat Nero membakar kota Roma dan memfitnah para pengikut Kristus itulah yang membakarnya. Akibatnya sangatlah tragis, mereka diburu, ditangkapi dan dianiaya, serta dibunuh secara keji. Dalam sebuah arena perlombaan, beberapa orang Kristen ditutupi dengan kulit hewan lalu melepas serombongan anjing pemburu, untuk menggigit dan mencabik-cabik mereka hingga mati. Bagi pengikut Kristus yang masih tersisa, Nero memerintahkan anak buahnya supaya mengikat mereka bersama jerami kering untuk dijadikan obor, dan disusun di dalam sebuah taman, dan dibakar pada tengah malam, menjadi hiburan bagi Nero yang lalim.
Itulah konteks jaman dimana Injil Matius dituliskan. Itulah penggambaran benih yang jatuh ditanah berbatu batu, yang tanahnya tipis, sehingga benih Firman tsb tak sempat berakar dalam. Saat kesulitan, penindasan dan penganiayaan datang, ia segera layu dan murtad.
Mari kita bertanya pada diri sendiri: "bagaimana jika hal itu terjadi pada diri kita? Sanggupkah kita bertahan dalam penindasan dan penganiayaan seperti itu?"

TAD-Ani

No comments:

Post a Comment