Renungan Mezbah Keluarga - Selasa, 20 September 2016

Bacaan: Lukas 3:3-6

Jika kita kemarin telah membahas kemiripan penggambaran Jokowi dgn Yohanes Pembaptis dalam hal menyerukan pertobatan (revolusi mental) dan persiapan jalan (infrastruktur) bagi terwujudnya Indonesia baru, maka hari ini kita akan melihat perbedaan mendasarnya. Jokowi memulai gebrakan politiknya setelah di puncak tampuk pimpinan negeri ini, sedangkan Yohanes tidak melakukan pendekatan struktural kekuasaan. Yohanes menggambarkan dirinya sbg "suara di padang gurun".. Suara yg sesungguhnya sangat lemah dan absurd bagi telinga banyak orang. Mengapa?? Sebab seruan Kerajaan Allah itu wujudnya tidaklah jelas dan dianggap (hanya) seruan utopis-etis. Cara berpikir kerajaan Allah tidak sama dgn kerajaan dunia, bahkan berbanding terbalik.

Donald B. Kraybill, seorang teolog Mennonite, menggambarkan Kerajaan Allah ini sbg kerajaan yg sungsang (seperti bayi yg terbalik posisinya). Yang terbawah menjadi yang teratas dan yang teratas menjadi yang terbawah. Betapa tidak? Sejak Yesus dalam kandungan, Maria telah menyanyikan pesan Kerajaan yg sungsang ini:  "Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang2 yg congkak hatinya; Ia menurunkan orang2 yg berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang2 yg rendah; Ia melimpahkan segala yg baik kepada orang yg lapar, dan menyuruh orang yg kaya pergi dengan tangan hampa." (Luk 1:49-53).

Kraybill menafsirkan nyanyian Maria ini sebagai peringatan akan lahirnya kerajaan sungsang, yg akan menjungkir-balikkan kehebatan kerajaan manusia. Orang yg congkak hatinya dan yg mengandalkan kekayaan dan tahta kekuasaan akan terjungkal dari puncak piramida sosialnya, sementara orang rendah hati dan miskin akan dilimpahi (Allah) dengan segala yg baik.
Wow!! Sekali lagi, apakah ini sekedar impian utopianya si Maria? atau ini pesan yg sarat makna dari Kerajaan yg sungsang itu?

(bersambung)

TAD-Ani

No comments:

Post a Comment